Self-Awareness dalam Media Sosial: Menghindari Jebakan FOMO dan Mencari Insight yang Bermakna
Media sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. TikTok memiliki 113 juta pengguna aktif per April 2023, sementara Instagram mencatat 109,33 juta pengguna pada bulan yang sama. Namun, pertanyaannya adalah, apa yang sebenarnya kita dapat dari penggunaan media sosial ini? Apa insight yang bisa kita peroleh?
Disclaimer: Artikel ini berisi pendapat pribadi dan bentuk refleksi diri yang bertujuan memberikan wawasan bagi pembaca.
Dari pagi hingga pagi, banyak waktu yang tercuri oleh media sosial. Mulai dari memasak, benerin motor, hingga memilih produk skincare, semuanya bisa ditemukan di sana. Namun, apakah kita benar-benar memperoleh insight dari konten-konten tersebut? Ataukah kita hanya terjebak dalam rasa takut ketinggalan (FOMO)?
Dalam interaksi sosial, selalu ada yang dinamakan "UpToDate" Jadi konsep FOMO tidak selalu negatif. Tetapi, pertanyaannya, apa yang sebenarnya kita butuhkan? Apakah teknologi informasi dan media sosial ini hanya menjadi alat bagi kita? Atau malah sebaliknya, kita yang terbawa arus dan kehilangan kontrol?
Sebelum kita berbicara tentang obat atau solusi, mari kita renungkan terlebih dahulu. Detox media, uninstall aplikasi, pakai aplikasi tambahan mungkin adalah tips-tips yang sering diusulkan. Namun, jika itu bertentangan dengan keinginan dan kebiasaan kita, sulit untuk mengikuti komitmen tersebut, maka dari itu perlu pendekatan yang lebih lembut.
Komitmen bisa berubah seiring dengan terpaan informasi dan pengaruh dari lingkungan sekitar. Namun, ada langkah penting yang perlu dibangun sebelum kita mengambil tindakan-tindakan "ekstrem" seperti detoksifikasi media atau meng-uninstall aplikasi. Langkah tersebut adalah pemahaman diri "self-awareness" atau kesadaran diri.
Dalam konteks media dan informasi, terdapat teori terpaan dan teori Uses and Gratification berperan penting. Pertama, kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita terganggu dengan konten-konten yang mungkin selalu muncul di beranda kita. Konten-konten ini sering kali hanya mengganggu produktivitas dan tidak memberikan insight yang berarti.
Selanjutnya, kita harus mengevaluasi apakah kita memiliki kemauan untuk mengurangi penggunaan media atau bahkan menghilangkannya dari lingkungan kita, Ini adalah pilihan sulit. Atau kita bisa mengganti konten-konten yang sekadar menghibur dengan konten-konten yang memberikan wawasan dan insight, Misalnya saja saya mengikuti konten kreator seperti Agusleo Halim (Bisnis), Felix Zulhendri (kesehatan), Kortugi (Kesehatan), Gibran Jaringan (Teknologi jaringan), atau Tuan Rinaldy (Theater) yang kontennya unik dan menarik.
Tentu saja, melaksanakan praktik-praktik ini tidaklah mudah. Kita harus mempengaruhi diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut secara konsisten. "Apa artinya bagi diri saya?" atau "Apakah konten ini benar-benar relevan dan bermanfaat bagi saya?" itu adalah contoh pertanyaan yang bisa membantu. Selain itu, fitur "tidak tertarik" di platform seperti TikTok bisa menjadi solusi yang efektif untuk membantu kita mengontrol konten yang muncul di beranda kita.
Dengan mempertanyakan kepada diri sendiri mengenai kebutuhan kita, ditambah solusi sederhana, kita bisa terus UpToDate dan mendapat insight dari penggunaan media sosial.
Kesimpulan
Kesimpulannya, Penggunaan media sosial adalah sebuah pilihan. Meskipun kita tidak bisa mengontrol media, kita tetap bisa mengontrol diri kita sendiri. Self-awareness adalah kunci penting dalam mengambil keputusan yang tepat terkait dengan media dan informasi yang kita konsumsi. Dengan lebih kritis memilih konten dan membatasi interaksi yang kurang bermanfaat, kita dapat menghindari jebakan FOMO dan memperoleh insight yang lebih berarti dari pengalaman kita di dunia maya.